La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan Dan Kedaulatan (3)
PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM - La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan Dan Kedaulatan (3).
Perjuangan
La Sinrang
DALAM laporan dari Gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 10 Oktober 1905, diungkapkan bahwa pada tanggal 25 September 1905, Residen Brugman, dengan kekuatan satu detasemen militer berangkat ke Sawitto. Ketika pasukan militer ini memasuki pusat pemerintahan tidak terjadi perlawanan, namun raja Sawitto berusaha melarikan diri karena takut ditawan.
Namun kemudian ia kembali dengan segera bersama anggota dewan hadatnya, dan diperintahkan untuk menandatangani pernyataan pendek, dengan perlakukan yang sama seperti diterapkan di Bone.[1] Penandatangan pernyataan pendek itu terjadi pada tanggal, 29 September 1905.
Dipaparkan juga bahwa di daerah ini juga dimulai menyatakan tuntutan agar membayar kerugian perang yang jumlahnya akan ditetapkan dalam perundingan kemudian dengan pejabat kontrolir setempat (gezaghebber). Jumlah yang kelak ditetapkan itu akan dibayar oleh kepala-kepala kampung yang berada dalam kekuasaan raja Sawito.
Selain itu juga dinyatakan bahwa akan
dilakukan pendataan penduduk dan pembukaan prasarana jalan raya yang harus dikerjakan
oleh penduduk. Mereka yang menentang dan melakukan perlawanan akan dihukum dan
diasingkan.
Paksaan dan tekanan yang dilakukan oleh pihak militer Belanda itu dipandang oleh La Sinrang, salah seorang putera raja Sawitto, sebagai suatu tindakan yang menghancurkan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaannya dan penghinaan atas kedudukan kekuasaan ayahnya.
Tidak dapat disangkal bahwa kebijakan pengiriman ekspedisi militer itu pada dasarnya untuk menghancurkan kedudukan kekuasaan pemerintah lokal dan mengambil-alih kedudukan kekuasaan itu, dengan kata lain ingin menjajah secara langsung.
Itulah sebabnya
La Sinrang tidak dapat menerima baik tindakan militer itu dan mulai bergiat
mengorganisasikan kekuatan untuk melakukan perlawanan dan mengusir para
penjajah itu keluar dari Kerajaan Sawitto.
Sikap dan tindakan itu dilakukan berdasarkan pada tatanan kultural yang dianutnya. Dalam kehidupan budaya politik tersosialisasi ungkapan yang menyatakan bahwa: “saya merelakan paha dan tangan saya patah asalkan dalam membela penguasaku, kalau rajaku sudah merasakan sesuatu yang memalukan maka rakyat pengikutnya sudah harus mati” (polo pang polo pani, asselengpuakku moa,nareko naposirini puatta napomate ni tu jana).[2]
Tradisi budaya politik ini yang melapangkan La Sinrang mendapat dukungan dari
para pemberani dan tenaga pria yang potensial dari berbagai daerah dalam
wilayah kekuasaan Kerajaan Sawitto untuk bersama-sama membangun kekuatan untuk
melakukan perlawanan terhadap kekuatan militer Belanda untuk memulihkan
kedudukan kerajaannya sebagai satu kesatuan pemerintah yang merdeka dan
berdaulat. Bahkan budaya politik itu juga yang mendasari dalam kehidupan
politik kerajaan ini terdapat kesatuan kekuatan yang dikenal dengan sebutan
kesatuan passiuno, pasukan berani
mati.
Strategik perlawanan yang dilakukan oleh tokoh ini adalah aksi gerilya. Strategik ini dipilih berkenan dengan pertimbangkan potensi persenjataan militer kesatuan pemberaninya, kondisi lingkungan alam, dan kenyataan bahwa wilayah kekuasaannya telah diduduki oleh pasukan militer Hindia Belanda. Sehubungan dengan itu dibangun kubu pertahanan-kubu pertahanan yang tersebar di sejumlah lokasi, antara lain di: Alitta, Ulu Tedong, Pajalele, Paleteang, dan Malingpung.
Aksi penyerangan dilancarkan ketika diketahui bahwa
pasukan operasi militer lagi istirahat, baik pada siang hari, terutama pada
malam hari. Setelah melakukan penyerangan, bergerak mundur sambil mencermati
reaksi dari lawan. Model aksi perlawanan ini yang mendasari pihak militer
Belanda senantiasa mengkategorilan sebagai gerakan kelompok liar (bende).
Bahri Majid, dkk. mengungkapkan bahwa dalam aksi gerilya dari kesatuan pemberani yang dipimpin oleh La Sinrang, terjadi beberapa kali serangan dan kontak senjata dengan pihak pasukan militer Ekspedisi Militer Sulawesi Selatan 1905, antara lain di: Libukang, Lemoe, Palinrang, Toburangang, dan Macobu.[3]
Aksi gerilya itu, dalam perkembangan kemudian, tidak hanya berhadapan dengan pasukan pendudukan Sawitto, tetapi juga terhadap pasukan militer yang melakukan pengejaran terhadap raja Gowa, yang berdasarkan informasi telah melarikan diri ke Sawitto. Pilihan untuk datang ke Sawitto itu tentunya berkaitan dengan kenyataan bahwa penduduk kerajaan ini juga melakukan perlawanan terhadap keinginan Belanda untuk mengambilalih kekuasaan atas kerajaan ini.
Namun pilihan itu pada
gilirannya menambah beban tanggungjawab dari pemimpin perlawanan, karena ia
tidak hanya bergiat untuk memporakporandakan kedudukan kekuasaan kolonial,
tetapi juga harus bergiat melindungi raja Gowa dari sergapan militer Belanda.
Pada sisi lain, kehadiran raja Gowa itu semakin meningkatkan semangat
perlawanan karena dapat mempersatukan kekuatan untuk menghadapi lawan.
Informasi yang dihimpun dari mata-mata Belanda menunjukan bahwa raja Gowa, ketika berada di kerajaan ini berkeinginan dan telah mengusahakan untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah Kesultanan Turki dan pemerintah Kekaiseran Jepang. Pilihan yang diprioritaskan adalah bantuan dari Kesultanan Turki.
Untuk maksud itu telah diutus Haji Nontji, seorang pedagang kaya di Singapura untuk berangkat ke Turki. Informasi ini dipandang oleh pihak militer Belanda sebagai suatu gagasan untuk menambahkan elemen perang sabil bagi usaha untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Pemilihan pada idiologi agama Islam sebagai faktor yang dapat membangkitkan semangat perlawanan dan mempersatukan kekuatan untuk menentang aksi penaklukan pasukan militer Belanda.
Informasi yang diperoleh dari Dala Tongang itu mendorong pihak pemerintah Belanda memusatkan perhatian untuk terus melakukan pengejaran terhadap raja Gowa dan pengikut-pengikutnya. Tugas itu diembankan kepada Letnan Christoffel dan satu detasemen militer yang berada dibawah komandonya.
Ketika pengejaran dari detasemen Christoffel memasuki daerah Tiruang pada tanggal 15 November 1905, ia mendapat serangan dari para pemberani yang berada dalam pimpinan La Sinrang. Pada pertempuran itu, pihak militer Belanda berhasil memukul mundur pertahanan La Sinrang dan terus bergerak maju. Kenyataan itu mengisyaratkan ketidakamanan lagi tempat persembunyian raja Gowa dan pengikutnya di Alitta.
Bersambung... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (4) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
Sebelumnya... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (2) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
[1] Sumber arsip: ANRI, Arsip Makassar. Laporan ini
merupakan laporan umum tentang kegiatan pasukan ekspedisi militer 1905 di
Sulawesi Selatan.
[2] Bahri Majid, dkk. Sejarah Perjuangan La Sinrang (Bakka Lolona Sawitto), (Pinrang:
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pinrang, Subdin Kebudayaan, 2005),
hal. 37.
[3] Ibid, hal. 38. Dalam buku ini diungkapkan bahwa kontak senjata di Libukang itu merupakan lanjutan dari penyerangan yang dilakukan oleh kesatuan pemberani La Sinrang terhadap pasukan militer Belanda di Rubae. Serangan dadakan yang dilakukan itu dikisahkan berhasil menimbulkan kepanikan terhadap kesatuan militer Belanda sehingga bergiat meloloskan diri dari serangan pemberani La Sinrang. Dalam serangan itu pihak kesatuan pemberani berhasil merampas sejumlah pucuk senjata militer Belanda.