Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (4)

PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM - La Sinrang: Tokoh Pejuang  Kemerdekaan Dan Kedaulatan, idwar anwar, tokoh pinrang, pahlawan pinrang, pahlawan sulawesi selatan, pahlawan indonesia, pejuang pinrang, Waliyullah Asal Bugis, Lasinrang Pahlawan Dari Sawitto (Bugis), Lasinrang, Pejuang yang Gigih Melawan Belanda, TRIBUNWIKI: Kisah La Sinrang Pahlawan Asal Sawitto, 7 Tokoh Pemberani yang Pernah Direkrut Petta Lasinrang, tribuntimur.com la sinrang, Petta Lolo La SINRANG, Pendekar Bugis Dari Tanah Sawitto,
PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM
 - La Sinrang: Tokoh Pejuang  Kemerdekaan Dan Kedaulatan (4).

INFORMASI yang diperoleh dari Dala Tongang itu mendorong pihak pemerintah Belanda memusatkan perhatian untuk terus melakukan pengejaran terhadap raja Gowa dan pengikut-pengikutnya. Tugas itu diembankan kepada Letnan Christoffel dan satu detasemen militer yang berada dibawah komandonya. 

Ketika pengejaran dari detasemen Christoffel memasuki daerah Tiruang pada tanggal 15 November 1905, ia mendapat serangan dari para pemberani yang berada dalam pimpinan La Sinrang. Pada pertempuran itu, pihak militer Belanda berhasil memukul mundur pertahanan La Sinrang dan terus bergerak maju. 

Kenyataan itu mengisyaratkan ketidak-amanan lagi tempat persembunyian raja Gowa dan pengikutnya di Alitta.  Kenyataan itu mendorong Daeng Kelabu, seorang pejuang dari Nepo, menjemput raja Gowa dan pengikutnya pada 20 November dan berusaha mengantar mereka keluar dari Alitta menuju ke daerah pegunungan yang berada antara Sidenreng dan Nepo.[1]

 Usaha pengejaran raja Gowa terus dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari penduduk atau dari anggota rombongan yang berhasil ditawan. Dalam satu pertempuran di Sawitto pada 5 desember 1905, pihak militer Belanda berhasil menawan seorang pengikut raja Gowa. Dari tawanan itu diperoleh informasi bahwa raja telah mengungsi ke Bulu Neponepo. 

Berdasarkan informasi itu detasemen Christoffel bergerak ke daerah itu. Pada prinsipnya pasukan militer pengejar raja Gowa itu berusaha agar dapat menawan dengan segera agar tidak dapat menyebarkan issu untuk memberikan elemen jihat dalam perjuangannya.

Dalam pengejaran itu diketahui bahwa raja Gowa kembali bersembunyi di Alitta. Oleh karena itu pengejaran kembali ke Alitta. Ketika memasuki Alitta tampak bahwa rombongan raja sedang berkemas untuk mengungsi. 

Oleh karena itu dilakukan pengepungan. Dalam kondisi yang sangat krisis itu, La Sinrang berusaha menerobos pengepungan itu sehingga terjadi pertempuran di Bukero pada 21 Desember 1905. Pertempuran yang terjadi itu berhasil mengelabui lawan sehingga raja Gowa dapat diloloskan keluar dari Alitta, meskipun harus membayar mahal dengan korban jiwa. 

Dalam pertempuran itu Arung Alitta, Karaeng Allu dan 17 orang anggota pasukan tewas. Salah seorang I Mangimangi karaeng Bontonompo berhasil ditawan karena tidak dapat meloloskan diri akibat kakinya tertembak.

Usaha pengejaran yang gencar itu menyebabkan rombangan raja Gowa itu terus bergerak pindah dari satu tepat ke tempat lainnya yang dipandang aman. Usaha untuk menyelamatkan diri dan bergiat terus mengorganisasikan perlawanan itu, tidak berhasil karena dalam pelariannya untuk menghindar dari sergapan militer Belanda itu, beliau tertembak pada bagian perutnya pada pertempuran yang terjadi pada 25 Desember 1905. 

Dalam kondisi terluka, ia berusaha meloloskan diri untuk kembali ke Alitta, namun tidak kesampaian karena beliau terjatuh dalam jurang dan meninggal. Jenazahnya kemudian diambil dan di bawah ke Parepare dan selanjutnya diantar ke Makassar dan diserahkannya kepada keluarganya.

Kematian raja Gowa itu menyedihkan La Sinrang dan pemberani-pemberaninya pada satu sisi, dan pada sisi lain mendorong semangat untuk terus membinasakan kedudukan kekuasaan Belanda. Itulah sejak itu aksi gerilya untuk menyerang pos-pos militer Belanda semakin gencar. Aksi itu tidak hanya dilakukan di Sawitto saja, tetapi juga meluas ke daerah lain, termasuk Parepare. 

Tidak dapat disangkal bahwa pada periode awal pendudukan Belanda itu, kelompok La Sinrang yang dikenal melakukan aksi gerilya terhadap kedudukan dan pos militer Belanda di wilayah Ajatapang. Itulah sebabnya dalam berbagai kasus, serangan-serangan yang dinyatakan dilakukan oleh kelompok liar (bende) tertuju pada kelompok perlawanan La Sinrang.

Aksi gerilya dari La Sinrang itu ternyata tidak dapat dipatahkan dengan tindakan militer. Oleh karena itu dalam perkembangan kemudian dipilih strategil baru, yaitu dengan menawan ayahnya, Adatuang Sawito, La Tamma dan I Makkanyuma (isteri La Sinrang) pada 25 Juli 1906. Komendan militer selanjutnya memerintahkan kepada Anre Guru La Nennung untuk menyampaikan kepada La Sinrang, agar dapat menghentikan perlawnanan. Jika terus melakukan perlawanan maka La Temma dan I Makkanyuma akan disiksa dan diasingkan.

Akibat tekanan itu, La Sinrang dengan didamping sekitar 100 pemberani memasuki kota Pinrang pada akhir Juli 1906 dengan tujuan untuk membebaskan ayah dan isterinya yang ditawan Belanda. Pada saat itulah pasukan militer Belanda langsung melakukan pengepungan dan melakukan ancaman akan membunuh dua sanderanya itu jika melakukan perlawanan. 

Tampaknya ancaman itu tidak menggetarkan hati sang pejuang, sehingga pihak militer Belanda memaksakan ayahnya (La Tamma) untuk menyampaikan pesan kepada La Sinrang. Addatuang Sawitto, La Tamma, kemudian berbicara dengan La Sinrang, yang intinya adalah memohon agar puteranya tidak  melakukan perlawanan karena kekuatan militer Belanda sangat kuta. Selain itu bila terus melakukan perlawanan maka ia (La Temma) dan menantunya (I Makkanyuma) akan diasingkan ke Pulau Jawa.

Akibat ancaman dan permohonan ayahnya, La Sinrang menyerahkan dirinya untuk ditawan menggantikan ayah dan isterinya. Ia kemudian dibawa ke Parepare dan selanjutnya diantar ke Makassar. Ia kemudian dijatuhi hukuman pembuangan, dan ditetampan daerah pembuangannya adalah Banyumas. 

Hukuman itu diterima dan dijalani tanpa ada keinginan untuk memohon keringanan. Bagi La Sinrang, hidup dalam pemerintahan kolonial Belanda adalah sia-sia. Dampak dari penangkapan La Sinrang itu berpengaruh besar pada sikap perlawanan rakyat Sawitto, karena setelah itu tidak ada lagi berita tentang perlawanan atau aksi gerilya. Itu pertanda bahwa semua rakyat sangat mendambakan kepemimpinan La Sinrang, tokoh pemberani.

Ketika memasuki usia rentak, sekitar tahun 1938 (telah berusia 94), La Sinrang menderita sakit ketuaan dan sudah tidak berdaya lagi. Oleh karena itu, pada tahun 1938, pemerintah Hindia Belanda memulangkannya kembali ke Sawitto. Tidak berapa lama kemudian ia mengembuskan nafatnya yang terakhir pada 29 Oktober 1938. 

Jenazahnya kemudin dimakamkan dalam upacara kebesaran kerajaan secara tradisional di Pemakaman Amassangang.. Perjuangannya itu selalu dikenang dan dibanggakan oleh masyarakat Sawitto pada khususnya, dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya sebagai tokoh patriot yang siap membantu dan berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan.

Bersambung... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (5) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)

Sebelumnya... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (3) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)

****

[1] Sumber arsip: ANRI, Arsip Makassar: “Uittreksel uit het verslag van den Luitenant Christoffel van de vervolging van den vorst van Gowa.