Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (2)

Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX, Sejarah Berdirinya Kabupaten Pinrang, Idwar Anwar, Asal mula nama Pinrang, Awal Mula Berdirinya Kabupaten Pinrang, Kerajaan Sawitto,
Ilustrasi
PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM - Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (2).

GURUTTA Abdul Latif, terlahir dari nama La Buah, (1893-1973) di daerah Pallameang, (kecamatan Mattirosompe kabupaten Pinrang sekarang), lahir dari rahim keluarga sederhana ibunya Tolawati ayahnya Ambo Kulaw yang pemahaman agamanya kurang mendalam . La Buah mendapat pendidikan Alquran dan ilmu nahwu, saraf dan ilmu agama lainnya Habib Alwi bin Abdullah Bin Sahl Jamalullail, Campalagian dan dikenal dengan sebutan Puang Towa, Hasan Yamani, gurunya Hasan Yamani inilah yang menggantikan namanya dari La buah menjadi Abdul Latif, dan Haji Maddepungan juga menjadi gurunya. 

Perjalanannya ke daerah Mandar tidak terlepas tradisi kedua daerah ini saling mengunjungi untuk mendapatkan barter penghidupan ekonomi yang sejak turun temurun sudah mengakar dan menjadi tradisi. 

Secara geografis Desa Pallameang di tahun 1860 merupakan kawasan pesisir pantai, dan memiliki hamparan persawahan yang sangat luas. Penduduknya bermata pencaharian nelayan dan petani. Pada saat panen tiba maka akan datang beberapa orang menjajakan jasa mereka. Mereka berasal dari suku Mandar dengan menawarkan jasa dengan imbalan uang maupun gabah/beras. 

Ketika orang-orang Mandar pulang sebahagian penduduk Pallameang akan ikut serta ke tanah Mandar untuk mencari ikan cumi dan penja (sejenis ikan seribu yang hanya ada di perairan teluk Mandar). Interaksi ini berlangsung hingga menimbulkan tali silaturahmi yang intens. 

Orang Mandar terkenal dengan ketaatan mereka dalam beragama. Ketika malam menjelang mereka menunaikan salat berjamaah. Begitu pun pembacaan kitab suci senantiasa terdengar di malam hari dan kadang penduduk Langnga mengajak ke rumahnya untuk acara hajatan yang diadakan dan meminta kesediaan orang-orang Mandar untuk mengaji Al Quran dalam acara tersebut, sebagai rasa terima kasih atas kesediaan mereka di hajatan itu tuan rumah memberikan beberapa liter gabah. 

Penasaran akan kesalehan sebagian pendatang suku Mandar ini memberanikannya bertanya pada salah satu rombongan itu dimana gerangan bisa membaca Al Quran dengan lantunan yang merdu. Para pendatang ini menginformasikan bahwa di kampung mereka memang ada tempat untuk mempelajari Al Quran bahkan memahami agama secara baik. 

Kampung tersebut tiada lain adalah Campalagian yang sekarang masuk menjadi wilayah kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Barat. La Buah kemudian menunggu kepulangan rombongan tersebut, hingga tiba saatnya dia meninggalkan kampung halamannya untuk beberapa tahun menimba ilmu ke tanah Mandar. 

Diperkirakan tahun 1910 kepergian La Buah ke wilayah Campalagian Mandar sejalan dengan telah berdirinya masjid dan telah ada kegiatan pembelajaran mangngaji alepu di daerah tersebut. 

Menurut dokumen Ikhtisar Sedjarah Masjid Campalagian bahwa pada tahun 1825 datanglah seorang ulama suku Jawa bernama Madjid Muhammad Amin berasal dari Jawa Timur kelahiran Kampung ketapang Surabaya. Dalam dokumen itu menjelaskan bahwa Masjid di Campalagian menjadi sentral mangngaji Kitta. 

Pada tahun 1828 dengan permufakatan pemerintah Maraddia yang bernama Ammana Madjdju maka surau (Langgar) yang tadinya di kampung Banua Parappe itu mulai dipindahkan ke kampung Masigi karena kampung tersebut pertengahan daerah Campalagian. 

Mangngaji tudang yang didirikan di Campalagian Mandar, pendirinya adalah Haji Maddepungang pada tahun 1913. Murid-murid yang masuk belajar berasal dari Pinrang, Rappang Soppeng, Wajo dan daerah lainnya. Murid-murid ini tidak mengenal batas umur namun pada umumnya mereka berusia 12 hingga 25 tahun. 

Pelajaran yang diajarkan berasal dari kitab-kitab kuning yang dibawa oleh Haji Maddepungang dari tanah Mekah, diantaranya ilmu fikih, tasawuf, ibadah (tentang tata cara pelaksanaan syariat, membaca dan tafsir Alquran, termasuk di dalamnya ilmu nahwu, tajwid, makhraj pelajaran dijadikan sebagai ilmu alat untuk membaca kitab kuning (Pawilloy, 1981, p. 79). 

Ketekunannya mempelajari Alquran dan ilmu agama lainnya, sehingga membuatnya menjadi santri yang bisa mentransferkan ilmunya kepada sang yuniornya dengan memakai sistem mangngaji tudang. Tentu saja di zaman itu ketika transfer ilmu selesai dilakukan maka para orang tua santri tersebut, biasanya memberikan jasa dalam bentuk uang benggol maupun ringgit. 

Abdul Latif mengumpulkan uang tersebut hingga terkumpul beberapa keping. Beliau kemudian memberikan uang tersebut kepada gurunya tetapi sang guru menjawab, berangkatlah kamu menimba ilmu lebih dalam lagi ke tanah Mekah. Kepingan uang ringgit maupun benggol itu sudah cukup sebagai bekalmu menuntut ilmu ke Tanah Mekah (Wawancara Puang Supiang, di Pallameang, 1 Agustus 2018). 

Berhaji ke tanah suci adalah dambaan setiap muslim Nusantara, di tahun 1920 sudah mempergunakan kapal uap menurut Ordonansi Haji tahun 1922 “ Peraturan Tentang Pelayaran Haji” Dalam Ordonansi tersebut dijelaskan tentang jenis kapal yang dipakai untuk mengangkut jamaah haji. Maskapai pelayaran diwajibkan untuk menggunakan kapal uap sebagai sarana pengangkutan dengan persyaratan yang harus dipenuhi. 

Ada beberapa tempat yang menjadi pelabuhan Embarkasi yaitu Makassar, Surabaya, Tanjung Periuk, Emmahaven, Palembang, dan Sabang (Emsoe, 2017, p. 38). 

Sekitar tahun 1920an Abdul Latif menuju tanah Mekah tetapi terlebih dahulu meminta restu kepada sang ibundanya di Pallameang. Tidak diketahui secara pasti kapan beliau tiba di Mekah. Yang pasti sekitar tahun 1937 di tanah Mekah beliau belajar Darul Falah, bertemu dengan gurutta Abd Samad, gurutta Rabe Baddulu pada tahun 1937. 

Tetapi guru dan jadwal belajar yang berbeda, gurutta Abd Latif belajar malam dan temannya yang lain belajar siang ataupun pagi dengan pelajaran ilmu hadis dan fikih. Pada malam hari belajar ilmu tarekat, dan sesi pelajaran ini memang dilakukan di malam hari. 

Kepulangan beliau ke tanah air tidak langsung ke pulau Celebes tetapi beberapa tahun singgah di Aceh untuk beberapa saat lamanya di perkirakan sekitar tahun 1939 kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di daerah Aceh. Di tempat ini beliau mentransferkan ilmunya kepada penduduk setempat. 

Bersambung... Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (3) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)

Sebelumnya... Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (1) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)