Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (1)
Ilustrasi |
MANGNGAJI tudang adalah proses audiensi, silaturahmi menghadap kepada sang agamawan di tempat kediamannya dalam rangka mempelajari ilmu agama. Orang-orang yang melakukan pendidikan semacam ini terkenal dengan nama pangngaji kitta yang bertujuan mendidik santri agar dapat membaca kitab gundul/kitab kuning/kitab klasik serta memahami kandungannya (Muslim, 2016, p. 185). Demikian dijelaskan dalam artikel berjudul Jejak Dan Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX yang ditulis Wardiah Hamid yang dimuat di Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 2 2019.
Beranjak sistem mangngaji tudang yang dilakukan oleh gurunya melahirkan beberapa murid yang mampu memahami agama dan kemampuan pembacaan kitab gundul yang unggul. Demikian pula ustaz yang berasal dari kalangan Muhammadiyah menjadi perintis berdirinya Pondok Pesantren Gombara Punnia Pinrang dengan sistem pendidikan yang lebih modern.
Menyemai jaringan intelektual dalam wadah mangngaji tudang hingga melahirkan murid-murid yang mampu menyerap ilmu yang mereka transmisi di kemudian hari, tradisi itu tetaplah mereka pakai dalam hal mentransmisikan ilmunya kepada murid muridnya (W. Hamid, 2017, p. 11). Kiprah mereka masih bisa terdeteksi sampai sekarang di antaranya beberapa manuskrip yang mereka torehkan maupun pesantren yang mereka dirikan.
Menjelang dasawarsa ketiga abad XIIV para penguasa yang baru masuk Islam melakukan penerjemahan beberapa doktrin-doktrin ajaran Islam dalam organisasi sosio politik dalam kerajaan-kerajaan mereka.
Jabatan-jabatan keagamaan seperti imam, khatib dan qadhi diciptakan, dan para pemegang jabatan itu bisa masuk di dalam lingkungan kerajaan dan bergaul dengan para bangsawan (Azra, 2007, p. 272). Dan dalam jejak ulama Pinrang ada salah satu figur qadhi di daerah kerajaan Sawitto, dengan jejaring keilmuan Haramain mampu masuk dalam lingkungan Saoraja dan menjabat sebagai penasehat raja di kerajaan Sawitto. Tidak hanya sebagai qadhi tetapi juga mengajarkan tarekat Qadiriyah Naksabandiyyah.
***
Gurutta Abdul Latif, terlahir dari nama La Buah, (1893-1973) di daerah Pallameang, (kecamatan Mattirosompe kabupaten Pinrang sekarang), lahir dari rahim keluarga sederhana ibunya Tolawati ayahnya Ambo Kulaw yang pemahaman agamanya kurang mendalam.
La Buah mendapat pendidikan Alquran dan ilmu nahwu, saraf dan ilmu agama lainnya Habib Alwi bin Abdullah Bin Sahl Jamalullail, Campalagian dan dikenal dengan sebutan Puang Towa, Hasan Yamani, gurunya Hasan Yamani inilah yang menggantikan namanya dari La buah menjadi Abdul Latif, dan Haji Maddepungan juga menjadi gurunya.
Perjalanannya ke daerah Mandar tidak terlepas tradisi kedua daerah ini saling mengunjungi untuk mendapatkan barter penghidupan ekonomi yang sejak turun temurun sudah mengakar dan menjadi tradisi.
Secara geografis Desa Pallameang di tahun 1860 merupakan kawasan pesisir pantai, dan memiliki hamparan persawahan yang sangat luas. Penduduknya bermata pencaharian nelayan dan petani. Pada saat panen tiba maka akan datang beberapa orang menjajakan jasa mereka. Mereka berasal dari suku Mandar dengan menawarkan jasa dengan imbalan uang maupun gabah/beras.
Ketika orang-orang Mandar pulang sebahagian penduduk Pallameang akan ikut serta ke tanah Mandar untuk mencari ikan cumi dan penja (sejenis ikan seribu yang hanya ada di perairan teluk Mandar). Interaksi ini berlangsung hingga menimbulkan tali silaturahmi yang intens.
Orang Mandar terkenal dengan ketaatan mereka dalam beragama. Ketika malam menjelang mereka menunaikan salat berjamaah. Begitu pun pembacaan kitab suci senantiasa terdengar di malam hari dan kadang penduduk Langnga mengajak ke rumahnya untuk acara hajatan yang diadakan dan meminta kesediaan orang-orang Mandar untuk mengaji Al Quran dalam acara tersebut, sebagai rasa terima kasih atas kesediaan mereka di hajatan itu tuan rumah memberikan beberapa liter gabah.
Penasaran akan kesalehan sebagian pendatang suku Mandar ini memberanikannya bertanya pada salah satu rombongan itu dimana gerangan bisa membaca Al Quran dengan lantunan yang merdu. Para pendatang ini menginformasikan bahwa di kampung mereka memang ada tempat untuk mempelajari Al Quran bahkan memahami agama secara baik.
Kampung tersebut tiada lain adalah Campalagian yang sekarang masuk menjadi wilayah kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Barat. La Buah kemudian menunggu kepulangan rombongan tersebut, hingga tiba saatnya dia meninggalkan kampung halamannya untuk beberapa tahun menimba ilmu ke tanah Mandar.
Diperkirakan tahun 1910 kepergian La Buah ke wilayah Campalagian Mandar sejalan dengan telah berdirinya masjid dan telah ada kegiatan pembelajaran mangngaji alepu di daerah tersebut.