La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (1)
La Sinrang |
Oleh Edward L. Poelinggomang[1]
La Sinrang adalah salah seorang putera dari
pasangan La Tamma dan I Rahima. Ia lahir pada tahun 1856 di Dolangan, tempat
asal ibunya. Perkampungan itu kini menjadi salah satu desa dari Kecamatan
Mattiro, Kabupaten Pinrang. La Tamma adalah seorang bangsawan tinggi di
Kerajaan Sawitto. Karena itu dalam perkembangan kemudian dilantik menjadi raja
Sawitto. Pada periode pemerintahannya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
tindakan penaklukan melalui pengiriman Ekspedisi Militer Sulawesi Selatan (Zuid-Celebes Expeditie) pada tahun 1905.
Pengiriman ekspedisi militer ini diawali dengan slogan politik yang eufenis yang dicanangkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Joannes Benedictus van Heutsz (1904-1909) yang dikenal dengan “politik perdamaian” (fasificatie politiek). Dalam suratnya yang dikirimkn kepada gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya, Cornelis Alexander Kroesen (1903-1906) tertanggal 14 Juli 1905 menunujukan dengan jelas keinginan untuk mewujudkan penguasan secara langsung seluruh wilayah Sulawesi Selatan.
Caranya adalah memaksakan semua penguasa pribumi
dengan kekuatan militer untuk mengakui kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan
menandatangai “pernyataan pendek” (korte
verklaring) dalam waktu yang singkat.[2]
Isi pokok dari pernyataan pendek itu adalah penyerahan kekuasaan sepenuhnya
kepada pemerintah Hindia Belanda.[3]
Alasan pemerintah kolonial untuk menguasai secara
langsung itu didalihkan demi ketertiban dan keteraturan (rust en orde). Hal itu nampak dalam pernyataan sejumlah pejabat
tinggi pemerintah Belanda, seperti: J.H.
van Kol, Van Deventer, dan Cremer bahwa pengiriman pasukan pendudukan itu
merupakan suatu kewajiban, karena pemerintah Hindia Belanda bertanggungjawab
bagi ketertiban dan keamanan di seluruh Kepulauan Indonesia.[4] Pernyataan
ini sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Berdasarlan Kovensi London 1824, pihak Inggeris menyatakan pengakuannya atas kedudukan pemerintah Belanda atas pulau-pulau yang berada di sebelah timur Semenanjung Malaka. Pengakuan Inggeris itu melegahkan hati meskipun pihak pemerintah kolonial belum berhasil mengusai sepenuhnya wilayah Kepulauan Indonesia.
Sejumlah besar kerajaan yang dijalin dengan kontrak dan menempatkannya menjadi kerajaan sekutu yang patut memandang kedudukan pemerintah kolonial sebagai pelindung dan perantara tampaknya tidak pernah ingin menempatkan diri sebagai wilayah protektorat Belanda. Dengan status sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat mereka terus bergiat mengembangkan kedudukan kekuasaan kerajaan dan memperkuat kedudukan kekuasaan.
Hal ini menyebabkan pemerintah Belanda kuatir
terhadap pengaruh bangsa Eropa lainnya yang semakin gencar mencari daerah pasar
hasil industrinya dan bergiat mendapatkan daerah koloni, khususnya country
traders.[5]
Mereka juga memasarkan persenjataan perang dan amunisi dan mengajari cara
penggunaannya sehingga dipandang dapat mengancam kedudukan kekuasaan.
Hal ini beralasan karena sejak tahun 1847 pemerintah telah memilih kebijakan perdagangan bebas dan membuka sejumlah pelabuhan di kawasan timur sebagai pelabuhan bebas, termasuk Makassar. Kebijakan itu telah mendorong perkembangan yang pesat dalam dunia perdagangan di kawasan timur, dan Makassar berhasil tampil menjadi bandar saingan terpenting dari posisi Singapura.
Kemajuan dunia perdagangan dan keberhasilan bandar Makassar menjadi pusat perniagaan itu dipandang oleh pemerintah Hindia Belanda tidak memberikan keuntungan bagi Batavia, Semarang, dan Surabaya, dengan kata lain tidak menguntungkan pemerintah kolonial dan lebih menguntungkan pusat perdagangan asing.
Oleh karena itu direncanakan untuk dibatalkan pada 1872, namun mendapat protes dari berbagai pihak sehingga tidak segera dilaksanakan. Kekuatiran pada peran pelaut dan pedagang dari Sulawesi Selatan akan mengalihkan kegiatan mereka sepenuhnya pada bandar niaga asing lainnya.
Untuk dapat membendung mereka maka langkah yang patut dilaksanakan adalah menaklukan dan menguasai sepenuhnya kerajaan-kerajaan yang masih berdaulat. Itulah sebabnya setelah ekspedisi militer 1905 memaksakan kerajaan-kerajaan bumuputera menandatangi pernyataan pendek, pemerintah mengumumkan pembatalan kedudukan Makassar sebagai pelabuhan bebas dan menjadikannya pelabuhan wajib pajak pada tahun 1906.
Bersambung... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (2) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
****
[1] Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin.
[2] Sumber arsip: ARA, Kotak AA.205, “Memorie van Overgave van de Gouverneur van Celebes en Onderhoorigheden, C.A. Krosen”; baca juga: Ch. Kies, “De Expeditie naar Zuid Celebes in 1905”, dalam: IG (1935, Bgn I), hal. 827-830.
[3] Tentang pernyataan pendek baca: J.M. Somer, De Korte Verklaring (Breda: Corona, 1934). Model pernyataan pendek terdapat pada Lampiran No. 4. buku ini.
[4] H. van Kol, Nederlandsch-Indie in de Staten general, 1897-1909 (s’Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1911), hal. 300-301; Edward L. Poelinggomang, Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan, 1906-1942 (Yogyakarta: Ombal, 2004), hal. 48.
[5] Country traders adalah bekas pegawai British East-Indie Company yang berniaga untuk memasarkan produksi industri Inggeris atas subsidi pemerintahnya.