La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (2)
Ekspedisi
Militer 1905
TINDAKAN militer untuk menaklukan kerajaan-kerajaan yang merdeka dan berdaulat di Sulawesi Selatan dicanangkan untuk pertama-tama nenaklukan kerajaan-kerajaan yang dipandang memiliki kedudukan kekuasaan yang kuat, baru kemudian kerajaan-kerajaan yang kecil dan kurang berpengaruh. Oleh karena itu ekspedisi militer yang dikirim itu pertama-tama ditujukan pada Kerajaan Bone (Juni 1905), Luwu (September 1905) dan Gowa. (Oktober 1905).
Tuntutan untuk menyerahkan dan kekuasaan dan mengakui
kedaulatan pemerintah kolonial Belanda atas negeri mereka itu mendapat
perlawanan yang sengit. Dari tiga kerajaan sasaran pertama itu, hanya datu
Luwu, We Kambo Daeng Risompa, yang berhasil dipaksa untuk menandatangani
pernyataan pendek pada 19 September 1905. Raja Bone dan raja Gowa menolak dan
mengundurkan diri dari kerajaan masing-masing mereka dan terus melakukan
perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan kerajaannya.
Pengungsian dua raja ini menimbulkan kecemasan pemerintah kolonial akan kemungkinan berpengaryh pada kerajaan-kerajaan lain untuk kelak bangkit bersama melakukan perlawanan. Oleh karena itu, sambil bergiat mengejar dan menawan raja Bone dan raja Gowa, pasukan militer dikirim ke kerajaan-kerajaan lain untuk memaksa penguasa setempat menandatangani pernyataan pendek.
Kerajaan-kerajaan dalam konfederasi Ajataparang yang pertama-tama dipaksa untuk menandatangani pernyataan pendek adalah raja Sawitto, La Tamma, menandatanganinya pada 29 September 1905. Setelah itu baru kerajaan-kerajaan lainnya: Kerajaan Sidenreng ditandatangani oleh raja La Cibu pada 25 Oktober 1905, dan pada waktu yang bersamaan Kerajaan Rapang oleh ratu Nyilitimo Arung Baranti.
Sementara kerajaan-kerajaan kecil lainnya, seperti Suppa (baru ditandatangani oleh datu Suppa La Paranrengi Karaeng Tinggi Mae pada 21 Januari 1906), Kassa (baru ditandatangani oleh ratu Bua Bara pada 3 Pebruasi 1906) dan Enrekang (baru ditandatangani oleh ratu Pancah Tana Bunga Walie pada 4 Maret 1906). Hal itu disebabkan oleh terjadinya perlawanan yang dilakukan oleh La Sinrang, putera raja Sawitto, terhadap pasukan militer Belanda.
Reaksi perlawanan itu terjadi karena diketahui bahwa ayahnya (raja Sawito) dipaksa dengan tekan kekuatan militer untuk menandatangani pernyataan pendek yang isi pokoknya adalah penyerahan kekuasaan atas kerajaanya kepada pemerintah kolonial Himdia Belanda.
Sikap kebencian itu semakin meluap ketika
diketahui bahwa pihak pemerintah Hindia Belanda terus melakukan operasi militer dan memaksa
penguasa-penguasa lokal lainnya untuk menandatangani naskah pernyataan pendek
yang sama..
Perlawanan La Sinrang itu semakin gencar ketika raja Gowa, I Makulau Karaeng Lembangparang Sultan Husain, yang meninggalkan kerajaannya bersama sejumlah pasukannya memasuki wilayah Sawito.
Dalam surat yang disampaikan oleh asisten residen Bone, De Greve, kepada gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya tertanggal 27 Pebruari 1906, dinyatakan bahwa La Sinrang telah bergabung dengan raja Gowa.
Juga Datu Suppa dan raja Alitta. Kelompok itu berada di wilayah Duri, tepatnya di perkampungan Tobanga.[1] Kehadiran raja Gowa itu berdampak pada perjuangan La Sinrang tidak hanya bergiat untuk mengusir dan membinasakan kedudukan militer Hindia Belanda di Sawitto tetapi juga berniat melindungi raja Gowa dari kejaran pasukan ekspedisi Hindia Belanda.
Perjuangan La Sinrang
Dalam laporan dari Gubernur Sulawesi dan Daerah Bawahannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 10 Oktober 1905, diungkapkan bahwa pada tanggal 25 September 1905, Residen Brugman, dengan kekuatan satu detasemen militer berangkat ke Sawitto.
Ketika pasukan militer ini memasuki pusat pemerintahan tidak terjadi perlawanan, namun raja Sawitto berusaha melarikan diri karena takut ditawan. Namun kemudian ia kembali dengan segera bersama anggota dewan hadatnya, dan diperintahkan untuk menandatangani pernyataan pendek, dengan perlakukan yang sama seperti diterapkan di Bone.[2]
Penandatangan pernyataan pendek itu terjadi pada tanggal, 29 September 1905. Dipaparkan juga bahwa di daerah ini juga dimulai menyatakan tuntutan agar membayar kerugian perang yang jumlahnya akan ditetapkan dalam perundingan kemudian dengan pejabat kontrolir setempat (gezaghebber). Jumlah yang kelak ditetapkan itu akan dibayar oleh kepala-kepala kampung yang berada dalam kekuasaan raja Sawito.
Selain itu juga dinyatakan bahwa akan dilakukan pendataan penduduk dan pembukaan prasarana jalan raya yang harus dikerjakan oleh penduduk. Mereka yang menentang dan melakukan perlawanan akan dihukum dan diasingkan.
Bersambung... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (3) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
Sebelumnya... La Sinrang: Tokoh Pejuang Kemerdekaan dan Kedaulatan (1) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
****
[1] Sumber arsip: ANRI, Arsip Makassar. Dalam surat
itu diungkapkan pula bahwa sedang diusahakan untuk mendapat bantuan dari Sultan
Turki maupun dari Kekaiseran Jepang. Yang diutamakan adalah bantuan dari Sultan
Turki untuk dimanfaatkan sebagai simbul untuk memberikan elemen perang sabil
bagi perjuangan menentang pihak pemerintah Hindia Belanda. Untuk menjalin
hubungan dengan Kesultanan Turki iru telah diutus seorang pedagang di
Singapura, Haji Nontji.
[2] Sumber arsip: ANRI, Arsip Makassar. Laporan ini
merupakan laporan umum tentang kegiatan pasukan ekspedisi militer 1905 di
Sulawesi Selatan.