Sejarah Suppa Tanah Dewatae (2)
KEDATANGAN Arajang ini bersama dengan munculnya daerah ini. Daerah-daerah yang dianggap tempat kediaman para keluarga arajang ini, di sana masih tetap dihormati oleh orang tua-tua. Hal ini dapat dibuktikan ketika penduduk Suppa mengadakan acara Mappalili sebelum turun sawah. Acara Mappalili ini diadakan secara tradisional di Kecamatan Suppa.
Kebiasaan yang dilakukan oleh penduduk ketika mappalili yaitu mengadakan penghormatan kepada Dewata dan memohon berkat kepadanya. Acara ini dimulai dengan pemukulan gendang tiga satu "alias Genrang Tellu".
Untuk memeriahkan acara ini penduduk mengadakan pemotongan kerbau
yang besar, yang lasim adalah kerbau hitam. Sebelum dipotong, terlebih dahulu
kerbau itu diarak berkeliling diikuti dengan pemukulan gendang yaitu gendang
tiga atau "Gendrang Tellu" atau Gong melalui tempat-tempat yang
dianggap kediaman para keluarga Arajang Manurungnge ri Suppa.
Setelah dipotong maka kepala dari kerbau itu, diarak kembali ke tempat-tempat yang telah dilewati semula. Setiap tempat yang dianggap kediaman para keluarga DewataE didatangi unfuk diberi suguhan, seperti pada umumnya cara orang-orang dahulu mengadakan selamatan di tempat parahyangan atau tempat yang dianggap keramat.
Adapun tempat-tempat keramat yang didatangi
ialah: Lauarang Parang di Marombombnng, Bujung Maranis di Wanuae, Baban LompoE,
Lita, dsb. Setelah itu penduduk pulang, kemudian makan bersama di tempat
kediamannya Arajang Manurunge di Suppa.
Akan tetapi kepercayaan dan keyakinan para orang tua dan pengikutnya semakin berkurang, disebabkan karena telah meninggalnya salah seorang yang dianggap berpengaruh dan sangat fanatik dalam kepercayaan ini.
Akibatnya tidak ada lagi regenerasi
disamping itu juga, karena pengaruh ajaran agama Islam yang makin meresap di
dalam hati para pemuda dalam daerah Kecamatan Suppa.
Menurut cerita rakyat, bahwa Suppa berasal dari kata Soppo yang dahulu kala di Pantai Marabombang terjadi suatu peristiwa yang menggemparkan rakyat. Pada suatu hari di pagi yang cerah, muncul mata air yang terpancar ke atas permukaan bumi pada waktu itu bersamaan pula turunnya ManurungE Suppa.
Maka semua penduduk yang mendengar berita ajaib itu
berdatangan untuk menyaksikan kejadian itu. Karena banyaknya orang yang datang
sehingga sukar untuk dilihat, oleh sebab itu mereka berusaha keras untuk
melihatnya. Ada yang memanjat dipohon dan ada yang bergantian naik ke atas bahu
(Sisoppo-soppo)
artinya dalam bahasa Bugis.
Demikian daerah ini dinamai Kampung Soppo yang kemudian berubah menjadi Suppa. Cerita ini hanya ber-sumber dari orang tua-tua entah benar atau tidak, namanya saja cerita rakyat. Menurut keterangan orang terdahulu bahwa Suppa yang aslinya bukan di Majennang seperti yang diketahui orang sekarang.
Tetapi aslinya itu terdapat di suatu tempat yang tinggi penuh dengan semak belukar dan di sekelilingnya ditumbuhi dengan pohon mangga yang buahnya harum dan manis rasanya, bagai manisnya gadis orang Suppa yang sering datang di tempat ini berziarah ke pusara nenek moyangnya.
Di sebelah utara
Kampung WanuE agak ke barat sedikit, terdapat kampung Marauleng itulah Suppa
yang asli. Sukar dilupakan bagi orang yang
pernah meneguk airnya, seperti bunyi nasehat ini;
Narekko Makkajarengngi Kampongnge Aja Musalaiwi Suppa :
Narekko Lengengngi Tonakko Ri Watanna
Narekko Lingkii Accekkekko Ri Benrenna
Narekko Moppangngi Enrekko Ri Lekke'na (Laporan Kasi Kebudayaan 1988,h1m.7-9).
Sumber: Rosdiana Hafid, (2012). Toponimi Daerah Pinrang Sebagai Sumber Sejarah. Makassar: La Macca.
****
Abduh, Muh. dkk., 7985. Sejarah Pulawanan Terhndap lmperialisme dan Kolonialisme di Sulnuesi Selatan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Abduh, Muh. dkk., 7985. Ceritera Rakyat Sulawesi Selatan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Asba, A.Rasyid.2010. Kerajaan Nepo: Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistem Politik Tradisional Bugis, Di Kabupaten Barru. Jokyakarta: Ombak.
Asba,A.Rasyid. Gerakan Sosial di Tanah Bugis; Raja Tanete La Patau Menantang Belanda. Jokyakarta: Ombak.
Anonim, 1989. Selayang Pandang Kabupaten Pinrang. Pinrang: Pemda Tingkat II.
Cindy Adam. Bung Knrno,Penyambung Lidah Rakyat Indonesin. Jakarta: Jambatan
Danasasmita, Saleh, 1983-1984. Rintisan P enelusur an Masa Silam Sejarah lawa Barat, Bandung: Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemda Jawa Barat.
Gising, Basrah. 2002. Sejarah Kuajaan Tanete. Makassar: Samajaya.
Gonggrijp, G, 1949. Sejarah Sosial Ekonomi Hindia Belanda (terjemahan).
Harahap, Parada. 7952. Rangkaian Tanah Air Tornja. Bandung : W. Van Hoeve.
Hamid, Pananrangi. 1986. Dampak Modernisasi Terhndap Hubungan Kekerabatan Dnerah Sulawesi Selatan. Jakarta : Depdikbud.
Hamida, Sitti. 1996. Sejarah Kecamatan Rantepao Kabupaten Tana Toraja.
Kartakusumah, Richardiana, 1990. Prasasti-Prasasti Galuh Pakuan di laut Barat Abad ke 14-16 Masehi. Naskah Seminar Galuh II. Bandung: Tasikmalaya.
Kobong, dkk. 1983. Filsafat Hidup Orang Toraja. Ujung Pandang : Institut Theologia Gereja Toraja.
Kila, Syahrir. 1997. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik lndonesia (Bunga Rampai Sejarah dan Budaya). Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
Kila, Syahrir. 7998. Sejarah Islam di Pinrang (Bunga Rampai Sejarah dan Budaya). Ujung Pandang : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Ujung Pandang.
Poelinggomang, Edward,L. 2005. Sejarah Tanete; Dari Agangnionjo Hingga Kabuputen Barru. Pemerintah Kabupaten Barru (laporan penelitian).
Poelinggomang, Edward, L. 2004. Sejarah Sulawesi Selatan Jilid I. Makassar : Pemda Sulawesi Selatan kerjasama Balitbangda.
Rasyid, Darwas. 7995. Sejarah Daerah Kabupaten Bnrru. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Swastiwi, Anastasia Wiw ik. 2010. Toponimi Daerah Natuna. Tanjung Pinang : Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tiadisional.
Walinono, Hasan. Tanete; Suatu Studi Sosiologi Politik. Ujung Pandang : Disertasi Doktor pada Pasca-sarjana Universitas Hasanuddin.