Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII (1)
PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM - Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII (1).
PENDAHULUAN
ISLAMISASI di Nusantara tidak berlangsung secara bersamaan, hal tersebut bisa dimaklumi karena Nusantara merupakan kawasan yang luas terdiri dari ribuan pulau yang tersebar dari pulau Sumatera sampai Pulau Papua, dari Miangas sampai Rote. Di pulau-pulau tersebut berdiri banyak kerajaan yang berdaulat. Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Pasai yang terbentuk pada abad ke XIII M. Eksistensi kerajaan Pasai terekam dalam catatan Ibnu Bathuthah yang mengunjungi Nusantara pada abad ke XVIII M.
Menurut keterangannya bahwa Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Melayu (Bathuthah and Al-Asfaar., 2012, p. 603). Penyebaran Islam awalnya terpusat di Kerajaan Islam Pasai kemudian meluas ke daerah-daerah lainnya di kawasan barat Nusantara seperti: Minangkabau, Palembang, Jambi, semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjar, dan kawasan Timur Nusantara seperti: Ternate, Tidore, Bacan, Buton dan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan.
Daerah yang terakhir disebut adalah daerah yang agak lambat menerima Islam sebagai agama resmi kerajaannya. Islam diterima di Sul-Sel oleh raja-raja lokal pada abad ke XVII M. Jika dibandingkan dengan daerah lain di Nusantara ini tiga abad setelah Pasai yang telah menerima Islam pada sekitar abad ke XIII M, atau dua abad setelah Ternate yang menerima Islam sejak abad ke XV M., atau satu abad setelah Buton yang telah menerima Islam sejak abad ke XVI M (Yunus, 2015, p. 7).
Melalui naskah lontara’ diperoleh informasi bahwa, jauh sebelum Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, puluhan kerajaan telah berdiri. Seperti: Luwu, Bone, Lamuru, Wajo, Cina (Pammana), Soppeng, Barru, Tanete, Segeri, Siang, Pangkajenne, Gowa, Tallo, Galesong, Sanrobone, Binamu, Bangkala, Bantaeng, Bonto Bangung, Tiro, Bulukumba, Lamatti, Tondong, Bulo-Bulo, Marusu, Turikale, Tanralili, Lau’, Simbang, Bontoa, Maiwa, Enrekang, Duri, Kassa, Batu Lappa, Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappeng Alitta dan lain-lain.
Raja-raja dari lima kerajaan terakhir di atas melakukan satu i krar perjanjian yang disebut dengan LimaĆ© Ajatappareng. Perjanjian ini mempersatukan lima kerajaan-kerajaan Bugis yang berdaulat tersebut dalam satu negara federasi yakni: pertama, Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappeng, dan Alitta. Kelima kerajaan inilah menyatakan wilayahnya sebagai silellangbola na lima bili’na (satu rumah lima kamarnya), maksudnya mereka tergabung dalam satu negara yang terdiri dari lima anggota federasi (Lontarak Akkarungeng Sawitto., no date). Ajatappareng sebagai konfederasi lima kerajaan lokal di Sulawesi Selatan terbentuk pada abad ke XVI M (Latif, 2014, p. 29).
Sampai awal abad ke XX M Ajatappareng adalah suatu daerah yang berdaulat yang tidak dikuasai oleh Belanda, melainkan dianggap sebagai kerajaan sekutu. Sejak dahulu Ajatappareng ini dikenal sebagai daerah penghasil utama beras di kawasan Sulawesi Selatan bahkan kawasan Timur Nusantara.
Salah satu bandar pelabuhan terpenting di sini adalah Pare-Pare atau Bacukiki, Suppa. Dari pelabuhan inilah disalurkan barang-barang ekspor seperti beras, kopi, kayu dan berbagai hasil bumi lainnya. Begitupun sebaliknya barang-barang impor Kerajaan-Kerajaan Ajatappareng dipasok melalui Bandar Pare-Pare.
Jadi bandar Pere-Pere inilah yang menjadi pintu gerbang yang menghubungkan Ajatappareng dengan dunia luar. Saat ini bekas wilayah kerajaan Ajatappareng meliputi Kabupaten Pinrang, Kota Pare-Pare, Kabupaten Sidenreng-Rappang (Sidrap), sebagian Kabupaten Barru dan sebagian Kabupaten Enrekang.
Sumber: Ahmad Yani, Islamisasi di Ajatappareng Abad XVI-XVII, dimuat di PUSAKA (Jurnal Khazanah Keagamaan) Vol. 8, No. 2, November 2020, hlmn. 191-210. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar.
****
(Lontarak Akkarungeng Sawitto. (no date).
Andaya, Y. L. (2004) The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in yhe Seventeenth Century, terj. Nurhadi Simorok: Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.
Anonim, Lontarak Alitta. (no date).
Anonim, Lontarak Sukkuna Wajo. (no date).
Bathuthah, M. bin A. R. I. B. fi G. Al-A. and Al-Asfaar., wa ‘A’jaim (2012) Muhammad Muchson & Khalifurrahan, Rihlah Ibnu Bathuthah Momoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan. Jakarta: Al Kautsar.
Dkk., K. (1985) Pengkajian Transliterasi dan Terjemahan Lontarak Bilang Raja Gowa-Tallok (Naskah Makassar). Makassar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo, 19985/1986.
Fahimah Ilyas, H. (2011) Lontaraq Suqkuna Wajo; Telaah Ulang Awal Islamisasi di Wajo. Tangerang Selatan: LSIP .
Latif, A. (2014) Para Penguasa Ajattappareng Suatu Refleksi Politik Orang Bugis. Yogyakarta: Ombak.
Lontarak Rol 02 No. 02. (no date). Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Pelras, C. (2006) The Bugis. Manusia Bugis. : terj. Abdul Rahman Abu dkk.,. Jakarta-Paris: Nalar bekerjasama dengan Forum.
Rahim, H. A. R. (2011) Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: OMBAK.
Saprillah. (2014) Pengabdian Tanpa Batas: Biografi Anregurutta Haji Abdul Malik Muhammad. Makassar: Zahadaniva Publishing.
Sewang, A. M. (2005) Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI Sampai Abad XVII. Jakarta.: Yayasan Obor. Tim Penyusun. (no date)
Citra Pare-Pare Dalam Arsip. Makassar. 2014: : Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. 2014.
Wardiah, H. (2017) ‘Peran Orang Arab Dalam Pendidikan Keagamaan di Kabupaten Maros’, Pusaka, 8.
Wardiah, H. (2019) ‘Genelogi Intelektual Ulama Awal Abad XX di Kabupaten Bulukumba dan Bantaeng Sulawesi Selatan’, SMaRT, 5.
Yani, A. (2014) ‘Pertemuan Sawerigading dengan Nabi Muhammad’, Shautul Adab.
Yunus, A. R. (2015) “Nilai-Nilai Islam Dalam Budaya dan Kearifan Lokal (Konteks Budaya Bugis)”. Rihlah.