Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (3)

Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX, Sejarah Berdirinya Kabupaten Pinrang, Idwar Anwar, Asal mula nama Pinrang, Awal Mula Berdirinya Kabupaten Pinrang, Kerajaan Sawitto,
Ilustrasi
PINRANG.ARUNGSEJARAH.COM - Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (3).

Setelah dari negeri serambi Mekah yaitu Aceh beliau menuju pulau Celebes tetapi tidak langsung pulang ke Pinrang tetapi terlebih dahulu mengunjungi Tanah Mandar sebagai tempat pertama kali menimba ilmu agama. Rumah annangguru Maddampungan menjadi sentral transmisi keilmuan berlangsung dimanah “pangaji kitta” masih bisa dihitung dengan jari ketika itu. 

Dalam kegiatan mengajar belajar sang guru duduk tetapi para pangaji kiitta sudah hadir sebelumnya. Mereka membentuk lingkaran sebelah kiri dan kanan gurunya, seperti bentuk setengah lingkaran tanpa klasifikasi (Abdurrahman, 1984). 

Pada tahun 1939 sebagai santri yang pernah belajar di daerah tersebut Abdul Latif sebagai seorang yang rendah hati tetap memosisikan dirinya sebagai santri dan tetap berguru kepada Annangguru Maddampungan. 

Gurunya kemudian menyuruhnya untuk mentransferkan ilmu yang sudah diperolehnya di Tanah Mekah untuk diajarkan di tempat tersebut (Wawancara Puang Suppiang, di Pallameang, 2 Juli 2018). 

Abdul Latif kembali ke Pinrang, kemudian menikah dengan seorang perempuan keturunan Arab Soppeng Ganra. Ayahnya bernama gurutta Wewang kedatangannya ke Pinrang desa Punging-Punging yang berada di sepanjang pesisir pantai Suppa. Ayahnya sangat mahir dalam hal agama sehingga raja di Soppeng mengangkatnya menjadi Imam Kampung. 

Beliau menolak dengan alasan bahwa tanggung jawab seorang imam sangat besar pertanggung jawabannya di akherat kelak cukuplah beliau menjadi doja saja. Penolakan ini dilakukan dengan cara berpindah tempat ke daerah Pinrang Suppa, tetapi malang nasibnya gurutta Wewang wafat, sehingga istrinya H Darmatasia meninggalkan daerah Suppa menuju daerah Pallameang membangun rumah sederhana. 

Ketertarikan gurutta kepada anak sang doja berawal kemahiran Sitti Maemunah yang pintar mengaji. Gurutta Latif melamar Sitti Maemunah, perkawinan itu berlangsung pada saat, sang istri belum memasuki usia balig. sehingga beliau menjalani suasana perkawinan ketika Sitti Maemunah sudah baligh. Gurutta Latif menjadi penggagas berdirinya sebuah Masjid Nurul Amin di desa Pallameang.

Berdirinya bangunan masjid diperolah dari sumbangan yang harus dilalui dengan jalan kaki ke daerah Barru dan kota Pinrang maupun naik perahu untuk mendapatkan bahan bangunan masjid. Bersama puang Macca yang mengiringi langkahnya mencari dana pembangunan masjid. 

Setelah masjid berdiri beliau menunjuk salah satu muridnya Puang Hayyong yang merupakan paman dari KH Abd Samad. untuk menjadi Imam pertama di masjid Nurul Amin. Tradisi mangngaji tudang dan belajar Alquran di tanamkannya di masjid itu dan melarang segala macam suara radio lewat mikrofon masjid selain bunyi Al Quran. 

Tahun 1943 beliau membuka mangngaji tudang di rumahnya, beberapa orang berguru kepadanya. Murid-muridnya inilah yang kemudian hari menjadi guru-guru agama, imam di Pallameang yaitu Imam Lutfi, berasal dari daerah Mattirosompa. KH Abdurrahman dan almarhum KH Fatahuddin salah seorang Pengajar di Pesantren Kabbalangan Pinrang juga menjadi muridnya datang di Pallameang belajar. Bahkan KH Zaenal Abidin, KH Hafid Karim, H Hadi, juga menjadi guru baginya dalam mengulas kitab Injil. 

Kitab itu beliau bawa dari tanah Mekah ketika belajar di sana. Kuat dugaan beberapa ulama ini mempelajari kitab Injil karena basis Kristen intens melebarkan sayapnya ke daerah Pinrang kota di tahun 1970-an. Gurutta menjadi tempat bertanya bagi mereka di seputar kitab Injil. 

Sampai akhir hayat hidupnya hubungannya ke Haramain tidak terputus, senantiasa mengirim surat maupun oleh oleh khas tanah air untuk ke Arab Saudi lewat Jemaah Haji. 

Setelah beliau meninggal kiriman tersebut, tetap dilanjutkan oleh istri dan anak beliau, terakhir kiriman berlangsung 1983 (Wawancara Puang Supiang, di Pallameang, 23 Agustus 2018). 

Gurutta Abdul Latif sepanjang perjalanannya terkenal sebagai ulama yang wara’ dan suhud. Pada tahun 1960 -an salah satu muridnya KH Abdurahman Ambo Dalle mengajaknya berkiprah di pemerintahan Jawatan Departemen Agama tetapi gurutta menolak. Menurutnya kesehariannya mangngaji tudang sudah membuatnya bahagia. 

Baginya masuk dalam pemerintahan membuat statusnya di hadapan masyarakat akan ada jurang pemisah, gurutta sangat tidak suka dengan hal tersebut. Kesederhanaannya bergaul dengan para nelayan maupun petani setempat itu jauh lebih membahagiakannya. 

Suatu ketika masa paceklik padi yang hasil panennya tidak bagus maka sang gurutta akan berjalan di sepanjang pematang sawah mengibas-ngibaskan sorbannya setelah itu padi tumbuh bagus dan menghasilkan gabah siap panen yang memuaskan para petani. 

Begitupun ketika ikan sangat sulit untuk ditangkap, para nelayan pulang tidak membawa hasil tangkapan. Setelah salat subuh sang gurutta menyusuri pantai sambil mengibas-ngibaskan sorbannya. 

Beberapa nelayan berpapasan dengan gurutta, beliau menyuruh para nelayan untuk melaut hari itu. Para nelayan pun pergi melaut mencari ikan, sungguh mencengangkan hasil tangkapannya pun sangat memuaskan. 

Gurutta pun kadang kala ikut melaut bersama para nelayan, penyaksian para nelayan mengungkap bahwa perahu/kapal yang mereka tumpangi bersama sang gurutta ketika menengok ke laut sekumpulan ikan-ikan mengerumuni perahu/kapal mereka dengan mudahnya para nelayan menjaring ikan-ikan itu. 

Sejak kejadian itu para nelayan sangat percaya karamah sang gurutta. Gurutta hanya mengambil sebahagian kecil saja untuk dimakan beserta keluarganya dan membagikan sisanya pada masyarakat setempat. 

Tradisi ketika mau turun ke sawah sebelum menanam padi maupun melaut akan senantiasa mendatangi gurutta untuk meminta berkah. Sebagian hasil panen padi maupun tangkapan ikan, mereka akan menyisihkan untuk sang gurutta. 

Tradisi ini masih terlihat sampai sekarang. Ilmu itu diwariskan kepada anak mantunya yaitu puang Supiang. Lewat perantara mimpi, dimana ilmu itu diajarkan.