Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (4)
Ilustrasi |
Gurutta Abdul Latif sepanjang perjalanannya terkenal sebagai ulama yang wara’ dan suhud. Pada tahun 1960 -an salah satu muridnya KH Abdurahman Ambo Dalle mengajaknya berkiprah di pemerintahan Jawatan Departemen Agama tetapi gurutta menolak. Menurutnya kesehariannya mangngaji tudang sudah membuatnya bahagia.
Baginya masuk dalam pemerintahan membuat statusnya di hadapan masyarakat akan ada jurang pemisah, gurutta sangat tidak suka dengan hal tersebut. Kesederhanaannya bergaul dengan para nelayan maupun petani setempat itu jauh lebih membahagiakannya.
Suatu ketika masa paceklik padi yang hasil panennya tidak bagus maka sang gurutta akan berjalan di sepanjang pematang sawah mengibas-ngibaskan sorbannya setelah itu padi tumbuh bagus dan menghasilkan gabah siap panen yang memuaskan para petani.
Begitupun ketika ikan sangat sulit untuk ditangkap, para nelayan pulang tidak membawa hasil tangkapan. Setelah salat subuh sang gurutta menyusuri pantai sambil mengibas-ngibaskan sorbannya. Beberapa nelayan berpapasan dengan gurutta, beliau menyuruh para nelayan untuk melaut hari itu. Para nelayan pun pergi melaut mencari ikan, sungguh mencengangkan hasil tangkapannya pun sangat memuaskan.
Gurutta pun kadang kala ikut melaut bersama para nelayan, penyaksian para nelayan mengungkap bahwa perahu/kapal yang mereka tumpangi bersama sang gurutta ketika menengok ke laut sekumpulan ikan-ikan mengerumuni perahu/kapal mereka dengan mudahnya para nelayan menjaring ikan-ikan itu. Sejak kejadian itu para nelayan sangat percaya karamah sang gurutta.
Gurutta hanya mengambil sebahagian kecil saja untuk dimakan beserta keluarganya dan membagikan sisanya pada masyarakat setempat. Tradisi ketika mau turun ke sawah sebelum menanam padi maupun melaut akan senantiasa mendatangi gurutta untuk meminta berkah.
Sebagian hasil panen padi maupun tangkapan ikan, mereka akan menyisihkan untuk sang gurutta. Tradisi ini masih terlihat sampai sekarang. Ilmu itu diwariskan kepada anak mantunya yaitu puang Supiang. Lewat perantara mimpi, dimana ilmu itu diajarkan.
Gurutta Latif pernah belajar ke Imam Lapeo masalah tarekat, ilmu ini kemudian diwariskan kepada keturunannya. Beliau memiliki cucu bernama Hadrawi yang merantau ke Pulau Kalimantan tetapi meninggal dunia di usia 43 tahun pada saat selesai membawakan ceramah di masjid. Sebahagian kitab gurutta berada di rumah cucu beliau ustaz Hadrawi.
Hingga akhir hidupnya wafat tahun 1973 jatuh di jalan ketika perjalanan pulang dari masjid menuju ke rumahnya. Tidak meninggal harta buat keturunannya, suatu malam sang istri merasakan di datangi sang gurutta membawa songkoknya yang terbuat dari emas sang gurutta berpesan songkok itu harus dipotong potong dan dijual untuk menutupi kebutuhan hidup sang istri.
Ketakutan sang istri mendapatkan benda tersebut menginisiatifnya untuk mempersembahkannya benda aneh tersebut kepada Arung. Ketakutan sang istri ini didasari bahwa mereka memang tergolong keluarga yang sangat sederhana, yang tiba-tiba mempunyai benda yang tergolong mahal dimasanya. Dan yang paling urgen adalah sifat kejujuran yang ditanamkan gurutta di keluarganya.
Sang Arung pun menerima persembahan itu dan kemudian mengembalikannya kembali kepada keluarga sang gurutta. Arung yang berkuasa ketika itu merasa bahwa keluarga gurutta lebih memerlukannya dan sangat menghargai kejujuran yang dimiliki oleh mereka.
Istri gurutta memotong songkok tersebut dan membagikannya kepada warga yang membutuhkannya. Dan menyisakan potongan sebahagian untuk di jual supaya dapat menutupi kebutuhan keseharian mereka.
Sebelumnya... Gurutta Abdul Latif - Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX (3) - Arung Pinrang (arungsejarah.com)
Sumber: Wardiah Hamid, Jejak Dan Kiprah Ulama Pinrang Awal Abad XX dalam Jurnal “Al-Qalam” Volume 25 Nomor 2 2019.
****
Tambahan:
Abdurrahman. (1984). Sejarah Yayasan Perguruan Islam Campalagiann1930- 1983. Polmas.
As’ad Muhammad. (2011). Buah Pena Sang Ulama (1st ed.). Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Makassar.
Asad. (2000). Kumpulan Naskah-Naskah Sejarah Raja-raja Sawitto Sejarah Perjuangan Lasinrang dan Pahlawan Kemerdekaan Acara Adat Istiadat. Pinrang.
Azra, A. (2007). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Burhanuddin, J. (2012). Ulama dan Kekuasaan (Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Islam). Jakarta: Mizan Publika.
Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren (Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia (9 th ed.). Jakarta: LP3ES.
Emsoe, A. (2017). Haji Tempo Doloe Kisah Klasik Berangkat Haji Zaman Dahulu (1st ed.). Bandung: MCM Publishing Bandung.
Glasse, C. (2002). Ensiklopedi Islam (111th ed.). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hamid, A. H. (1987). Pengajian Pondok di Pulau Salemo Suatu Tinjauan Historis.
Hamid, W. (2017). Jaringan Ulama Awal Abad XX di Kabupaten Bulukumba dan Bantaeng. Makassar.
Ibrahim, A. M. (2015). Lontarak Akkarungeng Sawitto (Salinab Transliterasi dan Terjemahan ke Bahasa Indonesia. Pinrang.
Kersten, C. (2017). Mengislamkan Indonesia (Sejarah Peradaban Islam di Nusantara). (C. Hilendbrand, Ed.) (1st ed.). Tangerang Selatan: Baca Laffan, M. (2015). Sejarah Islam di Nusantara. Yogyakarta: Banteng Pustaka.
Mulyati, S. (2004). Tarekat Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Muslim, A. (2016). Puang Kali Taherong. Kyai Pelopor Panrita Kittak (1st ed.). Makassar: Cv Cahaya Mujur Lestari.
Padindang, A. (2006). Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Makassar: La Macca Pres.
Pawilloy, S. dkk. (1981). Sejarah Pendidikan Daerah Sulawesi Selatan. Makassar.
Saad, M. (n.d.). Kumpulan Naskah-Naskah Sejarah Sawitto, Raja-Raja Sawitto Sejarah Perjuangan Lasinrang dan Pahlawan Kemerdekaan Acara Adat Istiadat Ceritra-Ceritra Rakyat. Pinrang.
Sukamto. (1999). Kepemimpinan Kiai dalam Pesantren (1st ed.). Jakarta: PT Pustaka LP3ES.